I.
PENDAHULUAN
Gulma adalah suatu tumbuhan lain yang tumbuh pada lahan
tanaman budidaya, tumbuhan yang tumbuh disekitar tanaman pokok (tanaman yang
sengaja ditanam) atau semua tumbuhan yang tumbuh pada tempat (area) yang tidak
diinginkan sehingga kehadirannya dapat merugikan tanaman lain yang ada di
dekat atau disekitar tanaman pokok
tersebut (Ashton, 1991). Pendapat para
ahli gulma yang lain ada yang
mengatakan bahwa gulma disebut juga
sebagai tumbuhan pengganggu atau
tumbuhan yang belum diketahui manfaatnya, tidak diinginkan dan menimbulkan
kerugian.
1.1 Pengelompokan Gulma
Jenis gulma tertentu merupakan pesaing tanaman
dalam mendapatkan air, hara, dan cahaya. Di Indonesia terdapat 140 jenis gulma
berdaun lebar, 36 jenis gulma rumputan, dan 51 jenis gulma teki (Laumonier et
al. 1986).
Pengelompokan gulma diperlukan untuk memudahkan dalam
pengendalian, pengelompokan dapat
dilakukan berdasarkan daur hidup, habitat, ekologi, klasifikasi taksonomi, dan tanggapan
terhadap herbisida. Berdasarkan daur hidup dikenal gulma setahun (annual) yang hidupnya kurang dari
setahun dan gulma tahunan (perennial)
yang siklus hidupnya lebih dari satu tahun.
Berdasarkan habitatnya dikenal gulma daratan (terrestrial) dan gulma air (aquatic) yang terbagi lagi atas gulma
mengapung (floating), gulma tenggelam
(submergent), dan gulma sebagian
mengapung dan sebagian tenggelam (emergent).
Berdasarkan ekologi dikenal gulma sawah, gulma lahan kering, gulma perkebunan,
dan gulma rawa atau waduk. Berdasarkan klasifikasi taksonomi dikenal gulma
monokotil, gulma dikotil, dan gulma paku-pakuan. Berdasarkan tanggapan pada
herbisida, gulma dikelompok kan atas gulma berdaun lebar (broad leaves), gulma rumputan (grasses),
dan gulma teki (sedges).
Pengelompokan yang terakhir ini banyak digunakan dalam pengendalian secara
kimiawi menggunakan herbisida.
Perkembangan gulma di UU Cinta
Manis telah mengalami banyak perubahan sejak pengelolaan lahan untuk perkebunan
tebu pertama kali dilaksanakan. Menurut beberapa praktisi perkebunan tebu di UU
Cinta Manis, awalmula gulma yang banyak berkembang adalah gulma daun lebar dan
beberapa jenis kayu-kayuan, namun pada tahun-tahun terakhir, jenis gulma mulai
bergeser pada jenis daun sempit dan teki-tekian yang dominan di areal
perkebunan. Dan kini bahkan jenis gulma Rottboelia
dan jenis kumpai (Brachiaria mutica) telah
banyak dijumpai di lahan perkebunan.
1.2 Tanah sebagai Bank Biji Gulma
Kehadiran gulma pada lahan budidaya berkaitan dengan deposit biji gulma dalam
tanah. Biji gulma dapat tersimpan dan bertahan hidup lama bahkan puluhan tahun dalam kondisi dorman, dan
akan berkecambah ketika kondisi lingkungan mematahkan dormansi itu. Terangkatnya biji gulma kelapisan atas
permukaan tanah dan tersedianya kelembaban yang sesuai untuk perkecambahan
mendorong gulma untuk tumbuh dan berkembang.
Biji spesies gulma setahun (annual spesies) dapat bertahan dalam tanah selama bertahun-tahun
sebagai cadangan benih hidup atau viable
seeds (Melinda et al . 1998). Biji gulma
yang ditemukan di makam Mesir yang telah berumur ribuan tahun masih dapat
menghasilkan kecambah yang sehat.
Jumlah biji gulma yang terdapat dalam tanah
mencapai ratusan juta biji (Direktorat Jenderal Perkebunan 1976). Karena benih
gulma dapat terakumulasi dalam tanah, maka kepadatannya terus meningkat (Kropac
1966). Dengan pengolahan tanah konvensional, perkecambahan benih gulma yang
terbenam tertunda, sampai terangkat ke permukaan karena pengolahan tanah.
Penelitian selama tujuh tahun mengindikasikan lebih sedikit benih gulma pada
petak tanpa olah tanah dibanding petak yang diolah dengan bajak singkal (moldboard-plow), biji gulma
terkonsentrasi pada kedalaman 5 cm dari lapisan atas tanah (Clements et al . 1996).
Pergeseran dan suksesi jenis
gulma terjadi akibat system budidaya tanaman tebu yang kurang tepat. Penggunaan herbisida berbahan
aktif yang sama secara terus menerus dan pengolahan tanah yang tidak tepat
memicu suksesi gulma kearah gulma yang lebih berbahaya, selain itu kepekaan
gulma terhadap herbisida cenderung melemah. Di UU Cinta Manis, gulma kumpai (Brachiaria
mutica), gulma triti
(Sorghum helepense)
dan branjangan (Rottboelia sp.) yang pada awalnya banyak dijumpai hanya pada
pinggiran rawa, kini telah banyak dijumpai di dalam lahan perkebunan tebu.
Kehadiran gulma pada lahan
pertanian atau pada lahan perkebunan
dapat menimbulkan berbagai masalah. Secara umum masalah-masalah yang
ditimbulkan gulma pada lahan tanaman
budidaya ataupun tanaman pokok adalah sebagai berikut :
§
Terjadinya kompetisi atau persaingan dengan
tanaman pokok (tanaman budidaya) dalam
hal: penyerapan zat makanan atau
unsur-unsur hara di dalam tanah, penangkapan
cahaya, penyerapan air dan ruang tempat tumbuh.
§
Sebagian besar tumbuhan gulma dapat mengeluarkan zat atau cairan yang
bersifat toksin (racun), berupa senyawa
kimia yang dapat mengganggu dan menghambat pertumbuhan tanaman lain
disekitarnya. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah allelopati.
§
Sebagai tempat hidup atau inang, maupun tempat
berlindung hewan-hewan kecil, insekta dan hama
sehingga memungkinkan hewan-hewan tersebut dapat berkembang biak dengan baik.
Akibatnya hama
tersebut akan menyerang dan memakan tanaman pokok ataupun tanaman budidaya.
§
Mempersulit pekerjaan diwaktu panen maupun pada
saat pemupukan.
§
Dapat menurunkan kualitas produksi (rendemen),
misalnya dengan tercampurnya daun-daun
dan bagian lain dari gulma dengan ikatan tebu terbawa ke pabrik..
Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh keberadaan gulma di
perkebunan tebu relatif cukup besar. Penurunan produktivitas tebu akibat
keberadaan gulma meskipun sangat beragam yang dipengaruhi oleh intensitas
penutupan gulma dan jenis dan agresifitas pertumbuhannya, tercatat dapat
mencapai sekitar 12-72% (Agropedia, 2010), bahkan untuk kasus tertentu sering
menyebabkan kegagalan panen.
Sementara itu,
Ibrahim (2006) menyatakan bahwa rata-rata kehilangan produksi tiap hektar
tanaman tebu akibat gulma sebesar 40 % dengan perincian sebagai berikut :
-
Penurunan
jumlah batang yang siap digiling tiap meter juring sebesar 32 %
-
Penurunan
tinggi batang sebesar 24 %
-
Penurunan
diameter batang sebesar 15 %
-
Penurunan
panjang ruas batang sebesar 14 %
-
Penurunan
kadar sucrosa dalam batang sebesar 15 %
Oleh karena itu, keberadaan gulma di kebun tebu sangat
tidak menguntungkan dikarenakan disamping dapat menurunkan produktivitas tebu,
juga secara teknis keberadaan gulma akan menyulitkan tahapan kegiatan
budidaya. Sebagai contoh, kebun tebu yang ditumbuhi gulma dengan lebat
akan menyulitkan kegiatan pemupukan.
Kemampuan gulma dalam menurunkan produktivitas tebu
berkaitan dengan terjadinya persaingan antara tanaman tebu terhadap faktor
lingkungan tumbuh, seperti misalnya terjadi persaingan terhadap sinar matahari
melalui mekanisme naungan, kebutuhan serapan air dan hara. Selain itu,
kerugian yang disebabkan gulma terhadap tanaman budidaya tebu secara tidak
langsung adalah melalui kesempatan gulma digunakan sebagai sarang hama dan penyakit.
Dapat dipastikan bahwa kebun tebu dengan kondisi pertumbuhan yang lebat, selain
mengindikasikan bahwa perawatan kebun pada tahap budidaya kurang dilaksanakan
secara baik, telah menyebabkan sanitasi kebun menjadi tidak sehat.
Namun, di
sisi lain keberadaan gulma di suatu lingkungan tumbuh tanaman budidaya sering
menjadi tempat inang organisme parasit suatu hama. Kondisi demikian akan
sangat menguntungkan ditinjau dari keberadaan gulma yang secara tidak langsung
menjaga keseimbangan terhadap kemungkinan terjadinya ledakan hama tertentu. Pada keadaan demikian
seyogyanya keberadaan gulma tertentu dipertahankan kepunahannya.
Oleh karena itu,
pengendalian gulma pada saat ini dilakukan dengan cara terpadu.
Tindakan pengendalian gulma telah berjalan mengikuti perkembangan teknologi, tidak hanya mengandalkan tenaga manual, tetapi telah berkembang kearah
pengendalian secara kimia dan mekanis. Pengalaman menunjukkan bahwa
diantara cara pengendalian gulma tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan
kelemahan, Oleh karena itu pengendalian gulma secara terpadu merupakan
tindakan paling efisien dan perlu diusahakan.
Gambar 1. Kondisi tanaman tebu
yang dipenuhi gulma
II.
PERSAINGAN TANAMAN DENGAN GULMA
Tingkat persaingan antara tanaman dan gulma
bergantung pada empat faktor, yaitu stadia pertumbuhan tanaman, kepadatan gulma,
tingkat cekaman air dan hara, serta spesies gulma. Jika dibiarkan, gulma
berdaun lebar dan rumputan dapat secara nyata menekan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.
2.1 Fase Pertumbuhan
Gulma tumbuh berasal dari biji gulma dan
bagian gulma yang tertinggal di tanah yang tidak mengalami pemusnahan oleh
kegiatan budidaya dan panas matahari. Gangguan akibat gulma tergantung
juga dari jenis gulma, oleh karena itu perlu diketahui jenis gulma tersebut untuk menentukan cara pengendalian yang sesuai. Selain jenis gulma,
persaingan antara tanaman dan gulma disebabkan oleh senyawa allelopati yang dikeluarkan oleh
gulma dan bersifat meracuni tanaman.
Gulma menyaingi tanaman terutama dalam memperoleh
air, hara, dan cahaya. Tanaman tebu
sangat peka terhadap tiga faktor ini
selama periode pertumbuhan vegetative tunas dan pertumbuhan akar antara umur satu bulan hingga bulan
keempat. Pada bulan pertama, gulma
mengganggu tanaman pada saat pertumbuhan akar, dimana tanaman sangat
membutuhkan unsur hara, air dan sinar matahari untuk pertumbuhan akar dan tunas.
Kemudian pada fase pemanjangan batang pada bulan ketiga hingga keempat, dimana pada
fase in tanaman sangat membutuhkan air dengan jumlah yang besar.
Pertumbuhan gulma umumnya lebih cepat dan lebih
tinggi pada stadia pertumbuhan awal dari tanaman tebu, sehingga keberadaan gulma pada
fase pertumbuhan tunas dan pemanjangan batang sangat menentukan kesehatan
tanaman. Pertumbuhan tanaman tidak optimal, sehingga pertumbuhan akar tanaman
tidak mampu menjangkau ke dalam tanah lebih jauh akibat kalah bersaing dengan
akar gulma. Kondisi tersebut berdampak pada ukuran diameter batang yang kecil
dan tinggi batang yang tidak optimal.
Gambar 2. Penampang akar
tanaman tebu dan akar gulma daun sempit.
Gulma merupakan pesaing bagi tanaman dalam
memperoleh hara. Gulma dapat menyerap nitrogen dan fosfor hingga dua kali, dan
kalium hingga tiga kali daya serap tanaman. Bahkan menurut Agropedia
(2010), gulma dapat menyerap Nitrogen dan Phospor 4 kali, dan 2,5 kali unsur K
dibandingkan tanaman tebu pada 50 hari pertama.
Pemupukan merangsang vigor gulma sehingga
meningkatkan daya saingnya. Nitrogen merupakan hara utama yang menjadi kurang
tersedia bagi tanaman karena persaingan dengan gulma. Tanaman yang kekurangan hara nitrogen mudah
diketahui melalui warna daun yang pucat. Interaksi positif penyiangan dan
pemberian nitrogen umumnya teramati pada pertanaman, di mana waktu pengendalian
gulma yang tepat dapat mengoptimalkan penggunaan nitrogen dan hara lainnya
serta mengoptimalkan penggunaan
pupuk (Violic, 2000).
Air merupakan faktor pembatas. Kekeringan yang
terjadi pada stadia awal pertumbuhan vegetatif dapat mengakibatkan kematian
tanaman. Kehadiran gulma pada stadia ini memperburuk kondisi cekaman air selama
periode kritis. Pada saat itu tanaman rentan terhadap persaingan dengan gulma
(Violic 2000).
Tabel 1. Persaingan antara gulma dan tanaman tebu
No
|
Uraian
|
Tanaman tebu
|
Gulma
|
1
|
Waktu perkecambahan
|
30 – 40 hari
|
5 – 14 hari
|
2
|
Siklus pertumbuhan
|
12 bulan
|
90 – 120 hari
|
3
|
Penyerapan hara Nitrogen (N)
|
1 kali
|
4 kali
|
4
|
Penyerapan hara Phospor (P)
|
1 kali
|
4 kali
|
5
|
Penyerapan hara Kalium (K)
|
1 kali
|
2,5 kali
|
6
|
Pertumbuhan
|
Tergantung suplai air dan hara
|
Mampu bertahan dalam cekaman air dan
hara
|
7
|
Penetrasi akar
|
Tergantung struktur tanah
|
Penetrasi lebih awal dan lebih
cepat.
|
8
|
Kepadatan akar
|
Tergantung kesuburan tanah
|
Lebih besar sesuai volume tanah
|
9
|
Jangkauan akar
|
Tergantung kepadatan tanah dan
posisi hara.
|
Keseluruh bagian tanah
|
Sumber :
-
Physiological
studies of weed seed germination. Robert O. Bibbey, 1947.
-
Bermuda
grass. www.blueplanetbiomes.org
-
Weed
infestation in sugarcane. Agropedia, 2009.
-
Crop
weed competition. Hasanuzzaman, 1980
2.2 Allelopati
Beberapa spesies gulma menyebabkan kerusakan lebih
besar pada tanaman karena adanya bahan toksik yang dilepaskan dan menekan
pertumbuhan tanaman. Bahan
toksik tersebut dikenal dengan senyawa allelokimia atau allelopati.
Allelopati merupakan senyawa biokimia yang
dihasilkan dan dilepaskan gulma ke dalam tanah dan menghambat pertumbuhan tanaman. Senyawa tersebut masuk ke dalam
lingkungan tumbuh tanaman sebagai sekresi dan hasil pencucian dari akar dan
daun gulma yang hidup dan mati dan pembusukan vegetasi. Senyawa allelopati
menghambat perkecambahan benih tanaman, dan menghambat perpanjangan akar
sehingga menyebabkan kekacauan sellular dalam akar (Anderson 1977 dalam
Violic 2000).
Mekanisme
pengaruh alelokimia terhadap
pertumbuhan dan perkembangan organisme
(khususnya tumbuhan) sasaran
melalui serangkaian proses
yang cukup kompleks.
Menurut Einhellig (1995 dalam Rahayu, 2003) proses
tersebut diawali di
membran plasma dengan terjadinya
kekacauan struktur, modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi
enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan
konsentrasi ion dan
air yang kemudian
mempengaruhi pembukaan stomata
dan proses fotosintesis.
Hambatan berikutnya terjadi dalam proses sintesis
protein, pigmen dan senyawa karbon
lain, serta
aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut
kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel
yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan
sasaran.
Spesies gulma yang dilaporkan menghasilkan bahan
allelopati dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Gulma pada perkebunan tebu yang mengeluarkan senyawa allelopati.
Nama Ilmiah
|
Nama Umum
|
Amaranthus sp.
|
Pigweed/Bayam
|
Cynodon dactilon
|
Bermuda grass/Grintingan
|
Cyperus rotundus
|
Purple nutsedge/Teki
|
Digitaria sanguinalis
|
Crabgrass/Genjoran
|
Echinochloa crusgalli
|
Barnyardgrass/Padi burung
|
Imperata cylindrical
|
Speargrass/Alang-alang
|
Rattboelia exaltata
|
Itchy grass/Branjangan
|
Sorghum helepense Johnsongrass
|
Rumput
Triti
|
Sumber: Duke (1985) dalam Lafitte (1994), Laumonier et al.
(1986).
Gambar 3. Penampang akar gulma yang menekan perkembangan akar tebu.
Gambar 2 dan 4 menunjukkan bahwa
akar gulma lebih jauh ke dalam dibandingkan akar tanaman tebu, perkembangan
akar tanaman tebu terhambat sebagai akibat adanya persaingan hara dan juga
senyawa allelopati yang dikeluarkan olah akar gulma.
III.
PENGENDALIAN
Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah
satu faktor penentu tercapainya tingkat hasil produksi tanaman yang tinggi. Gulma dapat dikendalikan
melalui berbagai cara;
melalui teknik budi daya
dengan pergiliran tanaman, peningkatan daya saing dan penggunaan mulsa; secara
mekanis dengan mencabut, membabat, menginjak, menyiang dengan tangan, dan
mengolah tanah dengan alat mekanis, secara kimiawi menggunakan herbisida.
Gulma pada tebu umumnya dikendalikan dengan cara mekanis dan
kimiawi. Pengendalian secara mekanis membutuhkan biaya yang tidak
sedikit dan penanganannya pun membutuhkan ketepatan. Sementara pengendalian gulma secara kimiawi berpotensi
merusak lingkungan dan bila pemakaiannya terus menerus akan menyebabkan
resistensi dan suksesi gulma, sehingga
perlu dikelola dengan tepat dan dikombinasikan dengan cara pengendalian lainnya.
3.1 Pengendalian secara Mekanis
Mengendalikan gulma secara mekanis dapat
dilakukan dengan pengolahan tanah
dan penyiangan dengan tangan (bubut).
Pengolahan tanah dilakukan dengan membajak, garu,
menyisir dan meratakan tanah,
menggunakan unit pengolahan tanah. Namun terkadang pengolahan tanah yang tidak tepat justru menjadi
pemicu adanya ledakan biji-biji gulma, oleh karena itu, perlu ditinjau kembali
mengenai teknis pengolahan tanah.
Pengolahan tanah diawali
dengan bajak untuk tanaman PC maupun awal bukaan lahan. Bajak bertujuan untuk
membalik permukaan tanah yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan garu I dan
garu II dan selanjutnya kegiatan kair untuk menyediakan bidang tanam.
Yang penting dalam pengolahan
tanah hubungannya dengan gulma adalah interval waktu antara olah tanah yang
satu dengan olah tanah yang lainnya. Adapun interval waktu yang diperlukan
dalam olah tanah adalah sbb :
-
Antara bajak dan garu I : 7 - 12 hari
-
Antara garu I dan garu II : 5 - 7 hari
-
Antara garu II dan kairan : 1 - 3 hari
Interval waktu diperlukan
untuk membalik tanah sehingga biji gulma di permukaan tanah tertimbun tanah dan
tidak berkecambah dengan optimal, sedangkan biji tanah yang terangkat ke
permukaan tanah dengan interval waktu
akan berkecambah dan siap tumbuh, namun akan musnah dengan kegiatan olah tanah
berikutnya, sehingga pertumbuhan gulma akan terhambat.
Selain menggunakan olah tanah,
salah satu upaya mekanis untuk mengendalikan hama adalah dengan menggunakan mulsa dari pelepah dan daun kering sisa hasil kegiatan klentek.
Penelitian yang dilakukan pada
lahan tanaman jagung antara petak yang dikendalikan dengan penyemprotan herbisida, dan petak yang dikendalikan dengan pengolahan tanah, menunjukkan bahwa pada 42 hari setelah tanam jumlah gulma yang
tumbuh hampir sama di kedua petak
(Fadhly et al. 2004). Menurut Roberts dan Neilson (1981)
serta Schreiber (1992), jumlah benih gulma berkurang jika pengendaliannya
menggunakan herbisida.
3.2 Aplikasi
Herbisida
Penggunaan herbisida merupakan salah satu cara
mengatasi masalah gulma. Herbisida memiliki efektivitas yang beragam.
Berdasarkan cara kerjanya, herbisida kontak mematikan bagian tumbuhan yang
terkena herbisida, dan herbisida sistemik mematikan setelah diserap dan
ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma. Menurut jenis gulma yang dimatikan
ada herbisida selektif yang mematikan gulma tertentu atau spektrum sempit, dan
herbisida nonselektif yang mematikan banyak jenis gulma atau spektrum lebar.
Sulitnya mendapatkan tenaga kerja dan mahalnya
pengendalian gulma secara mekanis membuat bisnis herbisida berkembang pesat.
Direktorat Sarana Produksi (2006) telah mendaftarkan 40 golongan, 80 bahan
aktif, dan 374 formulasi herbisida.
Bahan aktif herbisida yang penting untuk perkebunan
tebu adalah glifosat, paraquat,
2,4-D, ametrin, diuron, hexazinon,
dan metribuzin. Bahan aktif
herbisida tidak banyak mengalami peningkatan, tetapi yang bertambah adalah
formulasi atau nama dagang herbisida.
Herbisida berbahan aktif diuron, ametrin, dan 2,4-D banyak digunakan sebagai
paket herbisida pra tumbuh (pre emergence),
sedangkan paket herbisida pasca tumbuh (post
emergence) adalah paraquat dan sedikit glifosat.
Aplikasi herbisida di UU Cinta
Manis dilakukan dengan menggabungkan beberapa bahan aktif herbisida sesuai
dengan kondisi gulma dan lahan yang akan diaplikasi herbisida, mengingat
kondisi tersebut berbeda-beda tiap daerah yang dipengaruhi oleh lingkungan dan
kegiatan olah tanah sebelumnya. Sehingga diperoleh paket herbisida yang
sinergis yang mampu mengendalikan gulma dengan optimal.
Table 3. Paket kombinasi
herbisida pra tumbuh di UU Cinta Manis.
Paket Herbisida
|
Bahan aktif
|
Dosis/ha
|
Keterangan
|
Pra tumbuh I
|
Ametrin
|
1,5
|
Lahan masih ditumbuhi gulma
akibat pengolahan tanah tidak sempurna.
|
Diuron
|
1,5
|
||
2,4
D
|
1,5
|
||
Paraquat
|
1,0
|
||
Pra tumbuh II
|
Hexazinon
|
2,0
|
Lahan masih ditumbuhi gulma
akibat pengolahan tanah tidak sempurna.
|
Diuron
|
1,0
|
||
2,4
D
|
1,5
|
||
Paraquat
|
0,3
|
||
Pra tumbuh III
|
Ametrin
|
2,0
|
Lahan hasil olah tanah
sempurna.
|
Diuron
|
2,0
|
||
2,4
D
|
1,5
|
||
Herbisida pra tumbuh
diaplikasikan sebelum tanaman tebu mulai muncul tunas. Aplikasi dilakukan ke
tanah dengan tujuan untuk menghambat dan mematikan biji gulma dipermukaan tanah
yang akan mulai berkecambah. Namun agar aplikasi herbisida pra tumbuh sempurna,
maka syarat yang mutlak terpenuhi adalah pengolahan tanah dilakukan dengan
sempurna, yakni tanah hasil olah tanah remah dan bersih dari sampah.
Table 4. Paket kombinasi
herbisida pasca tumbuh di UU Cinta Manis.
Paket Herbisida
|
Bahan aktif
|
Dosis/ha
|
Keterangan
|
Pasca tumbuh I
|
Paraquat
|
2,0
|
|
Diuron
|
1,0
|
||
2,4
D
|
1,5
|
||
agristik
|
0,1
|
||
Pasca tumbuh II
|
Paraquat
|
3,0
|
|
2,4
D
|
1,5
|
||
Agristik
|
0,1
|
||
Pasca tumbuh III
|
Ametrin
|
1,5
|
|
Diuron
|
1,5
|
||
Paraquat
|
0,5
|
||
Agristik
|
0,1
|
Herbisida pasca tumbuh yang cukup luas
penggunaannya untuk mengendalikan gulma pada pertanaman jagung adalah paraquat
(1,1-dimethyl-4,4 bypiridinium) yang merupakan herbisida kontak nonselektif.
Setelah penetrasi ke dalam daun atau bagian lain
yang hijau, bila terkena sinar matahari, molekul herbisida ini bereaksi
menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel dan seluruh organ
tanaman, sehingga tanaman seperti terbakar. Herbisida ini baik digunakan untuk
mengendalikan gulma golongan rumputan dan berdaun lebar. Paraquat merupakan
herbisida kontak dan menjadi tidak aktif bila bersentuhan dengan tanah.Paraquat
tidak ditranslokasikan ke titik tumbuh, residunya tidak tertimbun dalam tanah,
dan tidak diserap oleh akar tanaman (Tjitrosedirdjo et al. 1984).
Herbisida 2,4-D digunakan untuk mengendalikan
gulma berdaun lebar setahun dan tahunan, melalui akar dan daun. Aplikasinya
mengakibatkan gulma berdaun lebar melengkung dan terpuntir. Senyawa 2,4-D
terkonsentrasi dalam embrio muda atau jaringan meristem yang sedang tumbuh
(Klingman et al. 1975).
Glifosat yang disemprotkan ke daun efektif
mengendalikan gulma rumputan tahunan dan gulma berdaun lebar tahunan, gulma
rumput setahun, dan gulma berdaun lebar. Senyawa glifosat sangat mobil,
ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman ketika diaplikasi pada daun, dan
cepat terurai dalam tanah. Gejala keracunan berkembang lambat dan terlihat 1-3
minggu setelah aplikasi (Klingman et al.
1975).
Populasi
gulma mudah berubah karena perubahan tanaman yang diusahakan dan herbisida yang
digunakan dari satu musim ke musim lainnya (Francis and Clegg 1990). Perubahan
jenis gulma dapat berimplikasi pada perlunya perubahan herbisida yang digunakan
untuk pengendalian.
Pertimbangan
utama pemilihan herbisida adalah kandungan bahan aktif untuk membunuh gulma
yang tumbuh di areal pertanaman. Tabel 4 menunjukkan selektivitas daya bunuh
herbisida pada perkebunan tebu di UU Cinta Manis.
Jenis bahan
aktif dan takaran herbisida untuk mengendalikan gulma telah disajikan dalam
Tabel 2 dan 3. Takaran herbisida meningkat jika kondisi penggunaannya kurang
mendukung, misalnya hujan turun setelah aplikasi atau daun gulma berlapis
lilin. Dalam hal ini perlu digunakan perekat/perata (surfactant) dengan takaran
0,1-0,5% volume/volume (Tasistro 1991).
Table 5. Selektivitas beberapa
herbisida penting di perkebunan tebu UU Cinta Manis.
Bahan aktif
|
Gulma yang terkendali
|
Gulma yang tidak terkendali
|
2,4-D
|
Banyak gulma daun lebar
setahun. Takaran tinggi dapat setahun digunakan untuk Cyperus sp.
|
Banyak
gulma rumputan dan tahunan
|
Glifosat
|
Kebanyakan gulma setahun
dan tahunan, termasuk teki dan alang-alang
|
Gulma berumbi memerlukan
perlakuan tambahan. Gulma hendaknya sedang dalam pertumbuhan ketika herbisida
diaplikasi
|
Parakuat
|
Kebanyakan gulma daun
lebar dan rumputan
|
Gulma tahunan
|
Selanjutnya dalam memperoleh sinergisme dalam pencampuran
beberapa bahan aktif herbisida, telah diketahui bahwa beberapa bahan aktif
herbisida tidak dapat dicampur dengan bahan aktif tertentu, sehingga perlu
diketahui bahan aktif apa saja yang dapat dan tidak dapat dicampur. Berikut
disajikan dalam table 5.
Table 6. Sinergisme pencampuran bahan aktif herbisida
Paraquat
|
Glyfosat
|
Diuron
|
Metribuzin
|
Atrazin
|
Ametryn
|
2,4D
|
|
2,4 D
Ametrine
Atrazine
Metribuzin
Diuron
Glyfosate
Paraquat
|
x
xxx
xxx
xxx
x
xxx
-
|
x
xx
xx
xx
xx
-
xxx
|
x
xx
xx
xx
-
xx
x
|
x
xx
xx
-
xx
xx
xx
|
x
xx
-
xx
xx
xx
xx
|
x
-
xx
xx
xx
xx
-
|
-
x
x
x
x
x
x
|
Keterangan : Sumber : P3GI, 2009
x : Sinergis
xx :
compatible
xxx : incompatible
Perkembangan herbisida saat
ini sangat pesat. Besarnya energy dan biaya yang dibutuhkan untuk pengendalian
gulma secara mekanis, maka laju pertumbuhan herbisida sangat cepat. Dengan
bahan aktif yang sama banyak dijumpai dengan merk dagang yang berbeda. Beberapa
merek dagang dan bahan aktif yang ada di UU Cinta Manis tersaji dalam table 6.
Table 7. Merek dagang dan nama
bahan aktif herbisida yang ada di UU Cinta Manis.
Bahan
aktif
|
||||
2,4 D
|
AMETRIN
|
DIURON
|
GLIFOSAT
|
PARAKUAT
|
DMA-6
|
MEBATRIN
|
KARMEX 80 WP
|
SUN UP 480 AS
|
GRAMOXONE
|
TORDON 101
|
AMEXONE 500 FW
|
VELPAR
|
KOMODOR
|
NOXONE
|
ANDALL
|
AMEGRASS 80 WP
|
MARON 500 F
|
TOUCH DOWN
|
SUPRETOX 276 AS
|
ABOLISY
|
AMEXONE 80 WP
|
BIORON 80 WP
|
BEST UP 480 AS
|
POINTER
|
MAXITOL 865 WSC
|
AMETOX 500 SC
|
DIRONEX 80 WP
|
KON UP 480 AS
|
ROLIXONE
|
ALADIN 865 SL
|
ALMARIN 80 WP
|
NAVARON 80 WP
|
ROLL UP
|
|
RHODIAMIN 720 WSC
|
AMTRAX 80 WP
|
SIDARON 80 WP
|
SUN UP 480 AS
|
Dalam rangka mengoptimalkan pengendalian gulma, maka perlu
dilakukan kegiatan pengamatan terhadap pertumbuhan gulma di areal perkebunan
tebu UU Cinta Manis. Sehingga akan diketahui jumlah bahan dan tenaga yang
dibuthkan untuk pengendalian baik secara mekanis maupun kimiawi.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh tim Litbang,
diketahui bahwa kondisi gulma pada pengamatan bulan Februari 2010 seperti
terlihat pada table 7.
Sedangkan kategori penutupan gulma di perkebunan tebu
dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap persentase penutupan gulma (weed coverage) dengan kriteria Menurut
P3GI (2010) sebagai berikut :
Table 8. Kriteria persentase penutupan gulma (Weed coverage) menurut P3GI.
Weed coverage
|
|||
Ringan
|
Sedang
|
Berat
|
Sangat berat
|
0
– 10 %
|
10 – 20 %
|
20 – 50 %
|
Ø 50 %
|
Ambang ekonomi untuk lahan kering adalah 20 %.
Berikut adalah gambaran contoh penutupan gulma di
perkebunan tebu.
Gambar 4. Kategori penutupan gulma dalam row tanaman tebu.
IV.
KESIMPULAN
Dalam upaya untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman
tebu, maka salah satu yang perlu diperhatikan adalah adanya gangguan pertumbuhan
tanaman dari organism pengganggu tanaman (OPT) yang salah satunya adalah gulma.
Penurunan produksi akibat gulma tergantung pada jenis gulma, kepadatan,
lama persaingan, dan senyawa allelopati yang dikeluarkan oleh gulma. Secara
keseluruhan, kehilangan hasil yang disebabkan oleh gulma dapat melebihi kehilangan hasil yang disebabkan
oleh hama dan penyakit (Fadhly, 2004).
Oleh karena itu, upaya
pengendalian gulma dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan pula aspek
budidaya seperti olah tanah dan penggunaan herbisida secara bijaksana. Dan yang
terpenting dalam aplikasi herbisida adalah 5 T (Tepat dosis, Tepat cara, Tepat
Aplikasi, Tepat Waktu, dan Tepat Sasaran) dengan pelaksana (SDM) yang memahami
prihal gulma dan pengendaliannya.
V.
PUSTAKA
Agropedia, 2010. Weeds Infestation in Sugarcane. Kanpur. India.
Bibbey O. Robert, 1947. Physiological
studies of weed seed germination. Departemen of
Agriculture.
Ottawa. Canada.
Clements,
D.R., D.L. Benoit, S.D. Murphy, and C.J. Swanton. 1996. Tillage
effects on weed
seed return and seedbank composition. Weed Sci.
44:314-322.
Fadhly,
A.F., R. Efendi, M. Rauf, dan M. Akil. 2004. Pengaruh cara penyiangan lahan dan
pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung
pada tanah bertekstur berat. Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman
Serealia, Maros, 18 Juni 2004, 14p.
Francis, C.A.
and M.D. Clegg. 1990. Crop rotation in sustainable production systems In: C.A.
Edwardsm R. Lal, P. Madden, R. Miller and G. House (Eds.).
Sustainable agriculture systems. Soil and Water Conservation Society. St Lucie
Press, Delray Beach, Florida.
Hasanuzzaman, Mirza. 2010. Crop Weed
Competition. Departement of Agronomy Sher-e
Bangla
Agricultural University. Pakistan.
Klingman,
G.C., F.M. Ashton and L.J. Noordhoff. 1975. Weed Science : Principles and
Practices. John Wiley & Sons, New York, 431p.
Kropac,
Z. 1966. Estimation of weed seeds in arable soils. Pedobiologia. 6:105-128.
Laumonier,
E.K.W., R. Megia and H. Veenstra. 1986. The Seedlings In: Soerjani, M., A.I. G.
H. Koetermans and G. Tjitrosoepomo (Eds.). Weeds of Rice in
Indonesia.
Balai Pustaka, Jakarta,
p.567-686.
Melinda,
L.H., M.D.K. Owen, and D.D. Bucher. 1998. Effects of crop and weed management
on density and vertical distribution of weed seeds in soil.
Agron. J. 90:793-799.
Murwandono, 2009. Macam-macam
Herbisida di Tebu. Kumpulan Materi In House Training
Tanaman. Cinta Manis.
Rahayu, E. Suwarsi, 2003. Peranan Penelitian Allelopati Dalam
Pelaksanaan Low External
Input Dan
Sustainable Agriculture (LEISA). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tasistro,
A. 1991. Selecting herbicide for maize under conventional tillage. In: Naize
Conservation Tillage. CYMMIT, Lisboa-Mexico, 7:115-121.
Tjitrosedirdjo,
S., I.H. Utomo dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan.
Badan Penerbit Kerjasama Biotrop Bogor dan Gramedia, Bogor, 210 p.
Violic,
A.D. 2000. Integrated crop menagement. In: R.L. Paliwal, G. Granados,H.R.
Lafitte,
A.D. Violic, and J.P. Marathee (Eds.). Tropical Maize
Improvement and Production. FOA Plant Production and Protection Series, Food
and Agriculture Organization of The United Nations. Rome, 28:237-282.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar