Senin, 27 Oktober 2014

GULMA DAN PERANANNYA DALAM PENURUNAN PRODUKTIVITAS DI PERKEBUNAN TEBU (Study Pustaka)





I.                   PENDAHULUAN

Gulma adalah  suatu tumbuhan lain yang tumbuh pada lahan tanaman budidaya, tumbuhan yang tumbuh disekitar tanaman pokok (tanaman yang sengaja ditanam) atau semua tumbuhan yang tumbuh pada tempat (area) yang tidak diinginkan sehingga kehadirannya dapat merugikan tanaman lain yang ada di dekat  atau disekitar tanaman pokok tersebut (Ashton, 1991).  Pendapat para ahli gulma yang lain  ada yang mengatakan  bahwa gulma disebut juga sebagai tumbuhan pengganggu  atau tumbuhan yang belum diketahui manfaatnya, tidak diinginkan dan menimbulkan kerugian.

           
            1.1 Pengelompokan Gulma

Jenis gulma tertentu merupakan pesaing tanaman dalam mendapatkan air, hara, dan cahaya. Di Indonesia terdapat 140 jenis gulma berdaun lebar, 36 jenis gulma rumputan, dan 51 jenis gulma teki (Laumonier et al. 1986).

Pengelompokan gulma diperlukan untuk memudahkan dalam pengendalian, pengelompokan dapat dilakukan berdasarkan daur hidup, habitat, ekologi, klasifikasi taksonomi, dan tanggapan terhadap herbisida. Berdasarkan daur hidup dikenal gulma setahun (annual) yang hidupnya kurang dari setahun dan gulma tahunan (perennial) yang siklus hidupnya lebih dari satu tahun.

Berdasarkan habitatnya dikenal gulma daratan (terrestrial) dan gulma air (aquatic) yang terbagi lagi atas gulma mengapung (floating), gulma tenggelam (submergent), dan gulma sebagian mengapung dan sebagian tenggelam (emergent). Berdasarkan ekologi dikenal gulma sawah, gulma lahan kering, gulma perkebunan, dan gulma rawa atau waduk. Berdasarkan klasifikasi taksonomi dikenal gulma monokotil, gulma dikotil, dan gulma paku-pakuan. Berdasarkan tanggapan pada herbisida, gulma dikelompok kan atas gulma berdaun lebar (broad leaves), gulma rumputan (grasses), dan gulma teki (sedges). Pengelompokan yang terakhir ini banyak digunakan dalam pengendalian secara kimiawi menggunakan herbisida.

Perkembangan gulma di UU Cinta Manis telah mengalami banyak perubahan sejak pengelolaan lahan untuk perkebunan tebu pertama kali dilaksanakan. Menurut beberapa praktisi perkebunan tebu di UU Cinta Manis, awalmula gulma yang banyak berkembang adalah gulma daun lebar dan beberapa jenis kayu-kayuan, namun pada tahun-tahun terakhir, jenis gulma mulai bergeser pada jenis daun sempit dan teki-tekian yang dominan di areal perkebunan. Dan kini bahkan jenis gulma Rottboelia dan jenis kumpai (Brachiaria mutica) telah banyak dijumpai di lahan perkebunan.


            1.2 Tanah sebagai Bank Biji Gulma

Kehadiran gulma pada lahan budidaya berkaitan dengan deposit biji gulma dalam tanah. Biji gulma dapat tersimpan dan bertahan hidup lama bahkan puluhan tahun dalam kondisi dorman, dan akan berkecambah ketika kondisi lingkungan mematahkan dormansi itu.  Terangkatnya biji gulma kelapisan atas permukaan tanah dan tersedianya kelembaban yang sesuai untuk perkecambahan mendorong gulma untuk tumbuh dan berkembang.

Biji spesies gulma setahun (annual spesies) dapat bertahan dalam tanah selama bertahun-tahun sebagai cadangan benih hidup atau  viable seeds (Melinda  et al . 1998). Biji gulma yang ditemukan di makam Mesir yang telah berumur ribuan tahun masih dapat menghasilkan kecambah yang sehat.
Jumlah biji gulma yang terdapat dalam tanah mencapai ratusan juta biji (Direktorat Jenderal Perkebunan 1976). Karena benih gulma dapat terakumulasi dalam tanah, maka kepadatannya terus meningkat (Kropac 1966). Dengan pengolahan tanah konvensional, perkecambahan benih gulma yang terbenam tertunda, sampai terangkat ke permukaan karena pengolahan tanah. Penelitian selama tujuh tahun mengindikasikan lebih sedikit benih gulma pada petak tanpa olah tanah dibanding petak yang diolah dengan bajak singkal (moldboard-plow), biji gulma terkonsentrasi pada kedalaman 5 cm dari lapisan atas tanah (Clements  et al . 1996).

Pergeseran dan suksesi jenis gulma terjadi akibat system budidaya tanaman tebu yang kurang tepat. Penggunaan herbisida berbahan aktif yang sama secara terus menerus dan pengolahan tanah yang tidak tepat memicu suksesi gulma kearah gulma yang lebih berbahaya, selain itu kepekaan gulma terhadap herbisida cenderung melemah. Di UU Cinta Manis, gulma kumpai (Brachiaria mutica), gulma triti (Sorghum helepense) dan branjangan (Rottboelia sp.) yang pada awalnya banyak dijumpai hanya pada pinggiran rawa, kini telah banyak dijumpai di dalam lahan perkebunan tebu.

Kehadiran gulma pada lahan pertanian  atau pada lahan perkebunan dapat menimbulkan berbagai masalah. Secara umum masalah-masalah yang ditimbulkan  gulma pada lahan tanaman budidaya ataupun tanaman pokok adalah sebagai berikut :
§  Terjadinya kompetisi atau persaingan dengan tanaman pokok (tanaman budidaya)   dalam hal:  penyerapan zat makanan atau unsur-unsur hara di dalam tanah,  penangkapan cahaya, penyerapan air dan ruang tempat tumbuh.
§  Sebagian besar tumbuhan gulma  dapat mengeluarkan zat atau cairan yang bersifat  toksin (racun), berupa senyawa kimia yang dapat mengganggu dan menghambat pertumbuhan tanaman lain disekitarnya. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah allelopati.
§  Sebagai tempat hidup atau inang, maupun tempat berlindung hewan-hewan kecil, insekta dan hama sehingga memungkinkan hewan-hewan tersebut dapat berkembang biak dengan baik. Akibatnya hama tersebut akan menyerang dan memakan tanaman pokok ataupun tanaman budidaya.
§  Mempersulit pekerjaan diwaktu panen maupun pada saat pemupukan.
§  Dapat menurunkan kualitas produksi (rendemen), misalnya dengan tercampurnya  daun-daun dan bagian lain dari gulma dengan ikatan tebu terbawa ke pabrik..

Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh keberadaan gulma di perkebunan tebu relatif cukup besar.  Penurunan produktivitas tebu akibat keberadaan gulma meskipun sangat beragam yang dipengaruhi oleh intensitas penutupan gulma dan jenis dan agresifitas pertumbuhannya, tercatat dapat mencapai sekitar 12-72% (Agropedia, 2010), bahkan untuk kasus tertentu sering menyebabkan kegagalan panen.
Sementara itu, Ibrahim (2006) menyatakan bahwa rata-rata kehilangan produksi tiap hektar tanaman tebu akibat gulma sebesar 40 % dengan perincian sebagai berikut :
-          Penurunan jumlah batang yang siap digiling tiap meter juring sebesar 32 %
-          Penurunan tinggi batang sebesar 24 %
-          Penurunan diameter batang sebesar 15 %
-          Penurunan panjang ruas batang sebesar 14 %
-          Penurunan kadar sucrosa dalam batang sebesar 15 %
Oleh karena itu, keberadaan gulma di kebun tebu sangat tidak menguntungkan dikarenakan disamping dapat menurunkan produktivitas tebu, juga secara teknis keberadaan gulma akan menyulitkan tahapan kegiatan budidaya.  Sebagai contoh, kebun tebu yang ditumbuhi gulma dengan lebat akan menyulitkan kegiatan pemupukan.
Kemampuan gulma dalam menurunkan produktivitas tebu berkaitan dengan terjadinya persaingan antara tanaman tebu terhadap faktor lingkungan tumbuh, seperti misalnya terjadi persaingan terhadap sinar matahari melalui mekanisme naungan, kebutuhan serapan air dan hara.  Selain itu, kerugian yang disebabkan gulma terhadap tanaman budidaya tebu secara tidak langsung adalah melalui kesempatan gulma digunakan sebagai sarang hama dan penyakit.  Dapat dipastikan bahwa kebun tebu dengan kondisi pertumbuhan yang lebat, selain mengindikasikan bahwa perawatan kebun pada tahap budidaya kurang dilaksanakan secara baik, telah menyebabkan sanitasi kebun menjadi tidak sehat. 
Namun, di sisi lain keberadaan gulma di suatu lingkungan tumbuh tanaman budidaya sering menjadi tempat inang organisme parasit suatu hama.  Kondisi demikian akan sangat menguntungkan ditinjau dari keberadaan gulma yang secara tidak langsung menjaga keseimbangan terhadap kemungkinan terjadinya ledakan hama tertentu.  Pada keadaan demikian seyogyanya keberadaan gulma tertentu dipertahankan kepunahannya.
Oleh karena itu, pengendalian gulma pada saat ini dilakukan dengan cara terpadu.  Tindakan pengendalian gulma telah berjalan mengikuti perkembangan teknologi, tidak hanya mengandalkan tenaga manual, tetapi telah berkembang kearah pengendalian secara kimia dan mekanis.  Pengalaman menunjukkan bahwa diantara cara pengendalian gulma tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan,  Oleh karena itu pengendalian gulma secara terpadu merupakan tindakan paling efisien dan perlu diusahakan.



Gambar 1. Kondisi tanaman tebu yang dipenuhi gulma


II.                PERSAINGAN TANAMAN DENGAN GULMA


Tingkat persaingan antara tanaman dan gulma bergantung pada empat faktor, yaitu stadia pertumbuhan tanaman, kepadatan gulma, tingkat cekaman air dan hara, serta spesies gulma. Jika dibiarkan, gulma berdaun lebar dan rumputan dapat secara nyata menekan pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

            2.1 Fase Pertumbuhan

Gulma tumbuh berasal dari biji gulma dan bagian gulma yang tertinggal di tanah yang tidak mengalami pemusnahan oleh kegiatan budidaya dan panas matahari. Gangguan akibat gulma tergantung juga dari jenis gulma, oleh karena itu perlu diketahui jenis gulma tersebut untuk menentukan cara pengendalian yang sesuai. Selain jenis gulma, persaingan antara tanaman dan gulma disebabkan oleh senyawa allelopati yang dikeluarkan oleh gulma dan bersifat meracuni tanaman.

Gulma menyaingi tanaman terutama dalam memperoleh air, hara, dan cahaya.  Tanaman tebu sangat peka terhadap tiga faktor ini selama periode pertumbuhan vegetative tunas dan pertumbuhan akar antara umur satu bulan hingga bulan keempat. Pada bulan pertama, gulma mengganggu tanaman pada saat pertumbuhan akar, dimana tanaman sangat membutuhkan unsur hara, air dan sinar matahari untuk pertumbuhan akar dan tunas. Kemudian pada fase pemanjangan batang pada bulan ketiga hingga keempat, dimana pada fase in tanaman sangat membutuhkan air dengan jumlah yang besar.

Pertumbuhan gulma umumnya lebih cepat dan lebih tinggi pada stadia pertumbuhan awal dari tanaman tebu, sehingga keberadaan gulma pada fase pertumbuhan tunas dan pemanjangan batang sangat menentukan kesehatan tanaman. Pertumbuhan tanaman tidak optimal, sehingga pertumbuhan akar tanaman tidak mampu menjangkau ke dalam tanah lebih jauh akibat kalah bersaing dengan akar gulma. Kondisi tersebut berdampak pada ukuran diameter batang yang kecil dan tinggi batang yang tidak optimal.



Gambar 2. Penampang akar tanaman tebu dan akar gulma daun sempit.

Gulma merupakan pesaing bagi tanaman dalam memperoleh hara. Gulma dapat menyerap nitrogen dan fosfor hingga dua kali, dan kalium hingga tiga kali daya serap tanaman. Bahkan menurut Agropedia (2010), gulma dapat menyerap Nitrogen dan Phospor 4 kali, dan 2,5 kali unsur K dibandingkan tanaman tebu pada 50 hari pertama.

Pemupukan merangsang vigor gulma sehingga meningkatkan daya saingnya. Nitrogen merupakan hara utama yang menjadi kurang tersedia bagi tanaman karena persaingan dengan gulma.  Tanaman yang kekurangan hara nitrogen mudah diketahui melalui warna daun yang pucat. Interaksi positif penyiangan dan pemberian nitrogen umumnya teramati pada pertanaman, di mana waktu pengendalian gulma yang tepat dapat mengoptimalkan penggunaan nitrogen dan hara lainnya serta mengoptimalkan penggunaan pupuk (Violic, 2000).

Air merupakan faktor pembatas. Kekeringan yang terjadi pada stadia awal pertumbuhan vegetatif dapat mengakibatkan kematian tanaman. Kehadiran gulma pada stadia ini memperburuk kondisi cekaman air selama periode kritis. Pada saat itu tanaman rentan terhadap persaingan dengan gulma (Violic 2000).



Tabel 1. Persaingan antara gulma dan tanaman tebu
No
Uraian
Tanaman tebu
Gulma
1
Waktu perkecambahan
30 – 40 hari
5 – 14 hari
2
Siklus pertumbuhan
12 bulan
90 – 120 hari
3
Penyerapan hara Nitrogen (N)
1 kali
4 kali
4
Penyerapan hara Phospor (P)
1 kali
4 kali
5
Penyerapan hara Kalium (K)
1 kali
2,5 kali
6
Pertumbuhan
Tergantung suplai air dan hara
Mampu bertahan dalam cekaman air dan hara
7
Penetrasi akar
Tergantung struktur tanah
Penetrasi lebih awal dan lebih cepat.
8
Kepadatan akar
Tergantung kesuburan tanah
Lebih besar sesuai volume tanah
9
Jangkauan akar
Tergantung kepadatan tanah dan posisi hara.
Keseluruh bagian tanah
Sumber :
-          Physiological studies of weed seed germination. Robert O. Bibbey, 1947.
-          Bermuda grass. www.blueplanetbiomes.org
-          Weed infestation in sugarcane. Agropedia, 2009.
-          Crop weed competition. Hasanuzzaman, 1980


            2.2 Allelopati

Beberapa spesies gulma menyebabkan kerusakan lebih besar pada tanaman karena adanya bahan toksik yang dilepaskan dan menekan pertumbuhan tanaman. Bahan toksik tersebut dikenal dengan senyawa allelokimia atau allelopati.

Allelopati merupakan senyawa biokimia yang dihasilkan dan dilepaskan gulma ke dalam tanah dan menghambat pertumbuhan tanaman. Senyawa tersebut masuk ke dalam lingkungan tumbuh tanaman sebagai sekresi dan hasil pencucian dari akar dan daun gulma yang hidup dan mati dan pembusukan vegetasi. Senyawa allelopati menghambat perkecambahan benih tanaman, dan menghambat perpanjangan akar sehingga menyebabkan kekacauan sellular dalam akar (Anderson 1977  dalam  Violic 2000).

Mekanisme   pengaruh   alelokimia   terhadap   pertumbuhan   dan perkembangan   organisme   (khususnya   tumbuhan)   sasaran  melalui   serangkaian   proses   yang  cukup   kompleks.  Menurut  Einhellig  (1995 dalam Rahayu, 2003)  proses   tersebut  diawali  di  membran plasma  dengan  terjadinya  kekacauan struktur, modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan   dan   konsentrasi   ion   dan   air   yang   kemudian  mempengaruhi   pembukaan   stomata   dan   proses fotosintesis.   

Hambatan berikutnya terjadi dalam proses sintesis protein,  pigmen dan senyawa karbon
lain,  serta aktivitas beberapa  fitohormon.  Sebagian atau seluruh hambatan  tersebut  kemudian   bermuara pada terganggunya   pembelahan dan pembesaran  sel  yang akhirnya  menghambat  pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran.  

Spesies gulma yang dilaporkan menghasilkan bahan allelopati dapat dilihat pada  Tabel 2.

Tabel 2. Gulma pada perkebunan tebu yang mengeluarkan senyawa allelopati.
Nama Ilmiah
Nama Umum
Amaranthus sp.
Pigweed/Bayam
Cynodon dactilon
Bermuda grass/Grintingan
Cyperus rotundus
Purple nutsedge/Teki
Digitaria sanguinalis
Crabgrass/Genjoran
Echinochloa crusgalli
Barnyardgrass/Padi burung
Imperata cylindrical
Speargrass/Alang-alang
Rattboelia exaltata
Itchy grass/Branjangan
Sorghum helepense Johnsongrass
Rumput Triti
Sumber: Duke (1985)  dalam Lafitte (1994), Laumonier  et al.  (1986).



Gambar 3. Penampang akar gulma yang menekan perkembangan akar tebu.

Gambar 2 dan 4 menunjukkan bahwa akar gulma lebih jauh ke dalam dibandingkan akar tanaman tebu, perkembangan akar tanaman tebu terhambat sebagai akibat adanya persaingan hara dan juga senyawa allelopati yang dikeluarkan olah akar gulma.


III.             PENGENDALIAN

Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu tercapainya tingkat hasil produksi tanaman yang tinggi. Gulma dapat dikendalikan melalui berbagai cara; melalui teknik budi daya dengan pergiliran tanaman, peningkatan daya saing dan penggunaan mulsa; secara mekanis dengan mencabut, membabat, menginjak, menyiang dengan tangan, dan mengolah tanah dengan alat mekanis, secara kimiawi menggunakan herbisida.

Gulma pada tebu umumnya dikendalikan dengan cara mekanis dan kimiawi. Pengendalian secara mekanis membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan penanganannya pun membutuhkan ketepatan. Sementara pengendalian gulma secara kimiawi berpotensi merusak lingkungan dan bila pemakaiannya terus menerus akan menyebabkan resistensi dan suksesi gulma, sehingga perlu dikelola dengan tepat dan dikombinasikan dengan cara pengendalian lainnya.

            3.1 Pengendalian secara Mekanis

Mengendalikan gulma secara mekanis dapat dilakukan dengan pengolahan tanah dan penyiangan dengan tangan (bubut).
Pengolahan tanah dilakukan dengan membajak, garu, menyisir dan meratakan tanah, menggunakan unit pengolahan tanah. Namun terkadang pengolahan tanah yang tidak tepat justru menjadi pemicu adanya ledakan biji-biji gulma, oleh karena itu, perlu ditinjau kembali mengenai teknis pengolahan tanah.
Pengolahan tanah diawali dengan bajak untuk tanaman PC maupun awal bukaan lahan. Bajak bertujuan untuk membalik permukaan tanah yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan garu I dan garu II dan selanjutnya kegiatan kair untuk menyediakan bidang tanam.

Yang penting dalam pengolahan tanah hubungannya dengan gulma adalah interval waktu antara olah tanah yang satu dengan olah tanah yang lainnya. Adapun interval waktu yang diperlukan dalam olah tanah adalah sbb :
-          Antara bajak dan garu I          : 7 - 12 hari
-          Antara garu I dan garu II        : 5 - 7 hari
-          Antara garu II dan kairan       : 1 - 3 hari

Interval waktu diperlukan untuk membalik tanah sehingga biji gulma di permukaan tanah tertimbun tanah dan tidak berkecambah dengan optimal, sedangkan biji tanah yang terangkat ke permukaan tanah  dengan interval waktu akan berkecambah dan siap tumbuh, namun akan musnah dengan kegiatan olah tanah berikutnya, sehingga pertumbuhan gulma akan terhambat.

Selain menggunakan olah tanah, salah satu upaya mekanis untuk mengendalikan hama adalah dengan menggunakan mulsa dari pelepah dan daun kering sisa hasil kegiatan klentek.

Penelitian yang dilakukan pada lahan tanaman jagung antara petak yang dikendalikan dengan penyemprotan herbisida, dan petak yang dikendalikan dengan pengolahan tanah, menunjukkan bahwa pada 42 hari setelah tanam jumlah gulma yang tumbuh hampir sama di kedua petak (Fadhly  et al.  2004). Menurut Roberts dan Neilson (1981) serta Schreiber (1992), jumlah benih gulma berkurang jika pengendaliannya menggunakan herbisida.



            3.2 Aplikasi Herbisida

Penggunaan herbisida merupakan salah satu cara mengatasi masalah gulma. Herbisida memiliki efektivitas yang beragam. Berdasarkan cara kerjanya, herbisida kontak mematikan bagian tumbuhan yang terkena herbisida, dan herbisida sistemik mematikan setelah diserap dan ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma. Menurut jenis gulma yang dimatikan ada herbisida selektif yang mematikan gulma tertentu atau spektrum sempit, dan herbisida nonselektif yang mematikan banyak jenis gulma atau spektrum lebar.

Sulitnya mendapatkan tenaga kerja dan mahalnya pengendalian gulma secara mekanis membuat bisnis herbisida berkembang pesat. Direktorat Sarana Produksi (2006) telah mendaftarkan 40 golongan, 80 bahan aktif, dan 374 formulasi herbisida.
Bahan aktif herbisida yang penting untuk perkebunan tebu adalah glifosat, paraquat, 2,4-D, ametrin, diuron, hexazinon, dan metribuzin. Bahan aktif herbisida tidak banyak mengalami peningkatan, tetapi yang bertambah adalah formulasi atau nama dagang herbisida.

Herbisida berbahan aktif diuron, ametrin, dan 2,4-D banyak digunakan sebagai paket herbisida pra tumbuh (pre emergence), sedangkan paket herbisida pasca tumbuh (post emergence) adalah paraquat dan sedikit glifosat.

Aplikasi herbisida di UU Cinta Manis dilakukan dengan menggabungkan beberapa bahan aktif herbisida sesuai dengan kondisi gulma dan lahan yang akan diaplikasi herbisida, mengingat kondisi tersebut berbeda-beda tiap daerah yang dipengaruhi oleh lingkungan dan kegiatan olah tanah sebelumnya. Sehingga diperoleh paket herbisida yang sinergis yang mampu mengendalikan gulma dengan optimal.

Table 3. Paket kombinasi herbisida pra tumbuh di UU Cinta Manis.
Paket Herbisida
Bahan aktif
Dosis/ha
Keterangan
Pra tumbuh I
Ametrin
1,5
Lahan masih ditumbuhi gulma akibat pengolahan tanah tidak sempurna.
Diuron
1,5
2,4 D
1,5
Paraquat
1,0




Pra tumbuh II
Hexazinon
2,0
Lahan masih ditumbuhi gulma akibat pengolahan tanah tidak sempurna.
Diuron
1,0
2,4 D
1,5
Paraquat
0,3




Pra tumbuh III
Ametrin
2,0
Lahan hasil olah tanah sempurna.
Diuron
2,0
2,4 D
1,5



Herbisida pra tumbuh diaplikasikan sebelum tanaman tebu mulai muncul tunas. Aplikasi dilakukan ke tanah dengan tujuan untuk menghambat dan mematikan biji gulma dipermukaan tanah yang akan mulai berkecambah. Namun agar aplikasi herbisida pra tumbuh sempurna, maka syarat yang mutlak terpenuhi adalah pengolahan tanah dilakukan dengan sempurna, yakni tanah hasil olah tanah remah dan bersih dari sampah.

Table 4. Paket kombinasi herbisida pasca tumbuh di UU Cinta Manis.
Paket Herbisida
Bahan aktif
Dosis/ha
Keterangan
Pasca tumbuh I
Paraquat
2,0

Diuron
1,0
2,4 D
1,5
agristik
0,1




Pasca tumbuh II
Paraquat
3,0

2,4 D
1,5
Agristik
0,1




Pasca tumbuh III
Ametrin
1,5

Diuron
1,5
Paraquat
0,5
Agristik
0,1
Herbisida pasca tumbuh yang cukup luas penggunaannya untuk mengendalikan gulma pada pertanaman jagung adalah paraquat (1,1-dimethyl-4,4 bypiridinium) yang merupakan herbisida kontak nonselektif.

Setelah penetrasi ke dalam daun atau bagian lain yang hijau, bila terkena sinar matahari, molekul herbisida ini bereaksi menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel dan seluruh organ tanaman, sehingga tanaman seperti terbakar. Herbisida ini baik digunakan untuk mengendalikan gulma golongan rumputan dan berdaun lebar. Paraquat merupakan herbisida kontak dan menjadi tidak aktif bila bersentuhan dengan tanah.Paraquat tidak ditranslokasikan ke titik tumbuh, residunya tidak tertimbun dalam tanah, dan tidak diserap oleh akar tanaman (Tjitrosedirdjo  et al. 1984).

Herbisida 2,4-D digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun lebar setahun dan tahunan, melalui akar dan daun. Aplikasinya mengakibatkan gulma berdaun lebar melengkung dan terpuntir. Senyawa 2,4-D terkonsentrasi dalam embrio muda atau jaringan meristem yang sedang tumbuh (Klingman et al. 1975).

Glifosat yang disemprotkan ke daun efektif mengendalikan gulma rumputan tahunan dan gulma berdaun lebar tahunan, gulma rumput setahun, dan gulma berdaun lebar. Senyawa glifosat sangat mobil, ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman ketika diaplikasi pada daun, dan cepat terurai dalam tanah. Gejala keracunan berkembang lambat dan terlihat 1-3 minggu setelah aplikasi (Klingman  et al. 1975).

Populasi gulma mudah berubah karena perubahan tanaman yang diusahakan dan herbisida yang digunakan dari satu musim ke musim lainnya (Francis and Clegg 1990). Perubahan jenis gulma dapat berimplikasi pada perlunya perubahan herbisida yang digunakan untuk pengendalian.

Pertimbangan utama pemilihan herbisida adalah kandungan bahan aktif untuk membunuh gulma yang tumbuh di areal pertanaman. Tabel 4 menunjukkan selektivitas daya bunuh herbisida pada perkebunan tebu di UU Cinta Manis.

Jenis bahan aktif dan takaran herbisida untuk mengendalikan gulma telah disajikan dalam Tabel 2 dan 3. Takaran herbisida meningkat jika kondisi penggunaannya kurang mendukung, misalnya hujan turun setelah aplikasi atau daun gulma berlapis lilin. Dalam hal ini perlu digunakan perekat/perata (surfactant) dengan takaran 0,1-0,5% volume/volume (Tasistro 1991).

Table 5. Selektivitas beberapa herbisida penting di perkebunan tebu UU Cinta Manis.
Bahan aktif
Gulma yang terkendali
Gulma yang tidak terkendali
2,4-D
Banyak gulma daun lebar setahun. Takaran tinggi dapat setahun digunakan untuk Cyperus sp.
Banyak gulma rumputan dan tahunan
Glifosat
Kebanyakan gulma setahun dan tahunan, termasuk teki dan alang-alang

Gulma berumbi memerlukan perlakuan tambahan. Gulma hendaknya sedang dalam pertumbuhan ketika herbisida diaplikasi
Parakuat
Kebanyakan gulma daun lebar dan rumputan
Gulma tahunan

Selanjutnya dalam memperoleh sinergisme dalam pencampuran beberapa bahan aktif herbisida, telah diketahui bahwa beberapa bahan aktif herbisida tidak dapat dicampur dengan bahan aktif tertentu, sehingga perlu diketahui bahan aktif apa saja yang dapat dan tidak dapat dicampur. Berikut disajikan dalam table 5.

Table 6. Sinergisme pencampuran bahan aktif herbisida

Paraquat
Glyfosat
Diuron
Metribuzin
Atrazin
Ametryn
2,4D
2,4 D
Ametrine
Atrazine
Metribuzin
Diuron
Glyfosate
Paraquat
x
xxx
xxx
xxx
x
xxx
-
x
xx
xx
xx
xx
-
xxx
x
xx
xx
xx
-
xx
x
x
xx
xx
-
xx
xx
xx
x
xx
-
xx
xx
xx
xx
x
-
xx
xx
xx
xx
-
-
x
x
x
x
x
x

Keterangan :                                                                                        Sumber : P3GI, 2009
x          : Sinergis
xx        : compatible
xxx      : incompatible

Perkembangan herbisida saat ini sangat pesat. Besarnya energy dan biaya yang dibutuhkan untuk pengendalian gulma secara mekanis, maka laju pertumbuhan herbisida sangat cepat. Dengan bahan aktif yang sama banyak dijumpai dengan merk dagang yang berbeda. Beberapa merek dagang dan bahan aktif yang ada di UU Cinta Manis tersaji dalam table 6.

Table 7. Merek dagang dan nama bahan aktif herbisida yang ada di UU Cinta Manis.
Bahan aktif
2,4 D
AMETRIN
DIURON
GLIFOSAT
PARAKUAT
DMA-6
MEBATRIN
KARMEX 80 WP
SUN UP 480 AS
GRAMOXONE
TORDON 101
AMEXONE 500 FW
VELPAR
KOMODOR
NOXONE
ANDALL
AMEGRASS 80 WP
MARON 500 F
TOUCH DOWN
SUPRETOX 276 AS
ABOLISY
AMEXONE 80 WP
BIORON 80 WP
BEST UP 480 AS
POINTER
MAXITOL 865 WSC
AMETOX 500 SC
DIRONEX 80 WP
KON UP 480 AS
ROLIXONE
ALADIN 865 SL
ALMARIN 80 WP
NAVARON 80 WP
ROLL UP

RHODIAMIN 720 WSC
AMTRAX 80 WP
SIDARON 80 WP
SUN UP 480 AS


Dalam rangka mengoptimalkan pengendalian gulma, maka perlu dilakukan kegiatan pengamatan terhadap pertumbuhan gulma di areal perkebunan tebu UU Cinta Manis. Sehingga akan diketahui jumlah bahan dan tenaga yang dibuthkan untuk pengendalian baik secara mekanis maupun kimiawi.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh tim Litbang, diketahui bahwa kondisi gulma pada pengamatan bulan Februari 2010 seperti terlihat pada table 7.

Sedangkan kategori penutupan gulma di perkebunan tebu dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap persentase penutupan gulma (weed coverage) dengan kriteria Menurut P3GI (2010) sebagai berikut :

Table 8. Kriteria persentase penutupan gulma (Weed coverage) menurut P3GI.
Weed coverage
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat




0 – 10 %
10 – 20 %
20 – 50 %
Ø  50 %
Ambang ekonomi untuk lahan kering adalah 20 %.  



Berikut adalah gambaran contoh penutupan gulma di perkebunan tebu.



Gambar 4. Kategori penutupan gulma dalam row tanaman tebu.



IV.             KESIMPULAN

Dalam upaya untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman tebu, maka salah satu yang perlu diperhatikan adalah adanya gangguan pertumbuhan tanaman dari organism pengganggu tanaman (OPT) yang salah satunya adalah gulma.

Penurunan produksi akibat gulma tergantung pada jenis gulma, kepadatan, lama persaingan, dan senyawa allelopati yang dikeluarkan oleh gulma. Secara keseluruhan, kehilangan hasil yang disebabkan oleh gulma dapat melebihi kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama dan penyakit (Fadhly, 2004).

Oleh karena itu, upaya pengendalian gulma dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan pula aspek budidaya seperti olah tanah dan penggunaan herbisida secara bijaksana. Dan yang terpenting dalam aplikasi herbisida adalah 5 T (Tepat dosis, Tepat cara, Tepat Aplikasi, Tepat Waktu, dan Tepat Sasaran) dengan pelaksana (SDM) yang memahami prihal gulma dan pengendaliannya.


V.                PUSTAKA


Agropedia, 2010. Weeds Infestation in Sugarcane. Kanpur. India.

Bibbey O. Robert, 1947. Physiological studies of weed seed germination. Departemen of
Agriculture. Ottawa. Canada.

Clements, D.R., D.L. Benoit, S.D. Murphy, and C.J. Swanton. 1996. Tillage effects on weed
seed return and seedbank composition. Weed Sci. 44:314-322.

Fadhly, A.F., R. Efendi, M. Rauf, dan M. Akil. 2004. Pengaruh cara penyiangan lahan dan
pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah bertekstur berat. Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 18 Juni 2004, 14p.

Francis, C.A. and M.D. Clegg. 1990. Crop rotation in sustainable production systems In: C.A.
Edwardsm R. Lal, P. Madden, R. Miller and G. House (Eds.). Sustainable agriculture systems. Soil and Water Conservation Society. St Lucie Press, Delray Beach, Florida.

Hasanuzzaman, Mirza. 2010. Crop Weed Competition. Departement of Agronomy Sher-e
Bangla Agricultural University. Pakistan.

Klingman, G.C., F.M. Ashton and L.J. Noordhoff. 1975. Weed Science : Principles and
Practices. John Wiley & Sons, New York, 431p.

Kropac, Z. 1966. Estimation of weed seeds in arable soils. Pedobiologia. 6:105-128.

Laumonier, E.K.W., R. Megia and H. Veenstra. 1986. The Seedlings In: Soerjani, M., A.I. G.
H. Koetermans and G. Tjitrosoepomo (Eds.). Weeds of Rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, p.567-686.

Melinda, L.H., M.D.K. Owen, and D.D. Bucher. 1998. Effects of crop and weed management
on density and vertical distribution of weed seeds in soil. Agron. J. 90:793-799.

Murwandono, 2009. Macam-macam Herbisida di Tebu. Kumpulan Materi In House Training
Tanaman. Cinta Manis.

Rahayu, E. Suwarsi, 2003.  Peranan Penelitian Allelopati Dalam Pelaksanaan Low External
Input Dan Sustainable Agriculture (LEISA). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tasistro, A. 1991. Selecting herbicide for maize under conventional tillage. In: Naize
Conservation Tillage. CYMMIT, Lisboa-Mexico, 7:115-121.

Tjitrosedirdjo, S., I.H. Utomo dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan.
Badan Penerbit Kerjasama Biotrop Bogor dan Gramedia, Bogor, 210 p.

Violic, A.D. 2000. Integrated crop menagement. In: R.L. Paliwal, G. Granados,H.R. Lafitte,
A.D. Violic, and J.P. Marathee (Eds.). Tropical Maize Improvement and Production. FOA Plant Production and Protection Series, Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome, 28:237-282.

www.blueplanetbiomes.org, 2010. Bermuda Grass.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar